Angket? DPR menelanjangi diri sendiri.
Posted Juli 5, 2008
on:Sekarang DPR sedang membentuk panitia angket yang akan menyelidiki tentang apakah kebijaksanaan menaikkan harga BBM menyalahi konstitusi atau tidak. Angket oleh DPR untuk ketiga kalinya dalam sejarah Republik Indonesia. Angket yang pertama pada masa pemerintahan Soekarno tetang beleid presiden atas Gerakan 30 September PKI. Kedua pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid mengenai dana hibah Sultan Brunei. Namun angket kali ini, DPR sepertinya menelajangi diri sendiri. Mengapa demikian?
Karena kebijakan menaikkan harga BBM bukanlah kebijakan yang berdiri sendiri tetapi terkait dengan upaya menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN Nomer 54 Tahun 2007). Ketika harga minyak dunia naik berdampak terhadap alokasi subsidi BBM membengkak maka APBN menjadi jomplang. Langkah yang ditempuh pemerintah untuk keseimbagan APBN adalah mengurangi subsidi BBM dan hal ini bararti harga BBM naik.
Sebelumnya langkah mengurangi subsidi atau dengan kata lain menaikan harga BBM terlebih dahulu dibahas dalam rapat Kabinet. Rapat kabinet pada dasarnya adalah rapat mengenai Rancangan Perubahan APBN karena adanya rencana menaikkan harga BBM. Selanjutnya rancangan perubahan APBN itulah yang diusulkan pemerintah kepada DPR. Lalu DPR memutuskan menyetujui rancangan perubahan tersebut menjadi Undang Undang Nomer 16 Tahun 2008 tentang Perubahan APBN.
Dengan adanya angket oleh DPR berarti menyelidiki kebijakan yang telah disetujui dan telah diputuskannya sendiri menjadi Undang Undang Nomer 16 Tahun 2008 tentang Perubahan APBN. Manakala terdapat hal yang menyimpang dan bertentangan dengan konstitusi maka berarti dewan ikut serta melakukan penyimpangan dan pelanggaran tersebut.
Melalui angket kali ini nampaknya ada upaya untuk cuci tangan dengan mencoba mengatakan kepada rakyat bahwa ”saya tidak ikut menyetujui”. Angket kali ini berarti menafikan proses politik beretika dalam mekanisme demokrasi di negara ini.
Tapi apapun namanya, hak angket adalah kegiatan politik yang tentunya akan sarat muatan politik masing masing anggota dewan. Ringkasnya, proses ini akan memakan tenaga, pikiran, biaya dan lamanya waktu dibutuhkan untuk pembuktian berbobot hukum. Belum lagi soal kebijakan privatisasi yang berkaitan dengan cabang cabang produksi yang seharusnya dikuasai negara, suatu kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya.
Jadi menurut hemat saya hasil angket belum final sampai berakhirnya masa jabatan pemerintahan sekarang. Temuan dari angket ini akan mubazir dan cuma jadi munisi untuk kampanye pemilu depan.
Tinggalkan Balasan