Dibutuhkan Kearifan Seorang Kepala Negara.
Posted November 1, 2009
on:Konflik antara KPK dangan Polri diharapkan dapat di ‘manage’ dengan baik agar tidak merembes keluar dari norma penyelenggaraan Negara. Komisi Pemberantasan Korupsi adalah institusi Negara sama halnya dengan Kepolisian Republik Indonesia, meskipun kepolisian berada didalam administrasi pemerintahan. Pada dasarnya konflik antara KPK vs Polri adalah konflik antara KPK dengan Pemerintah. Jadi membiarkan konflik yang telah memunculkan silang pendapat berkepanjangan dan bisa saja menjadi kontra produktif. Bahkan konflik berkepanjangan ini sangat mungkin menjadi permainan politik atau politisasi.
Kita merasakan betapa masyarakat menjadi galau dan terpecah semangatnya dalam upaya menegakkan hukum dan memberantas korupsi. Isu ‘cicak vs buaya’ yang dilansir sebagai isu public , memancing dan menumbuhkan sikap keberpihakan kepada ‘cicak’ dan menempatkan ‘buaya’ sebagai monster yang harus dilawan oleh masyarakat. Kita tentu tidak berharap jika pada akhirnya merambat secara perlahan membentuk suatu pendapat umum bahwa ‘buaya’ adalah common enemy di republik ini. Kondisi semacam ini mengkhawatirkan dan saya sebut sebagai kontra produktif bagi pencapaian cita cita bersama dalam kehidupan bernegara. Sebagai warga negara saya ingin menyampaikan sekadar pandangan dan pendapat sebagai bentuk keprihatinan.
Sebagaimana disiarkan secara luas melalui berbagai media bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak memandang masalah ini sebagai konflik antar istitusi Negara. Beliau memandangnya sebagai hal tindak kriminal, dimana ada warga Negara yang tersangkut masalah hukum dan sedang disidik oleh kepolisian dalam suatu proses penegakkan hukum, bahwa setiap warga negara sama kedudukannya dimata hukum dan karenanya seorang presiden tidak boleh mencampurinya.
Dengan kata lain dalam kacamata saya, presiden memandang masalah ini berdiri sendiri sebagai realitas kehidupan sehari hari dimana ada saja tindak pidana terjadi seperti ‘jambret’ atau ‘maling sendal’ yang menjadi pekerjaan rutin kepolisian. Jika demikian berarti tidak berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan, tegasnya tidak memerlukan kearifan seorang Kepala Negara. Meski misalnya cuma soal ‘jambret’ atau ‘maling sendal’ sekalipun, jika mempunyai cakupan yang sangat luas menyangkut perilaku sosial masyarakat bangsa ini, saya kira tetap membutuhkan kearifan seorang kepala negara.
Periode kerja KPK 2003 – 2007 dibawah kepimpinan Taufiequrrahman Rukki, menghasilkan sejumlah besar kasus korupsi terungkap. Hal ini kemudian menjadikan ‘panen’ kasus oleh KPK periode 2008 – 2010 dibawah kepemimpinan A.Azhar. Kinerja KPK telah sukses menyamakan persepsi masyarakat bahwa korupsi adalah extra ordinary crime, tindak criminal luar biasa. Hal ini pula yang membuat KPK dianggap sebagai ‘Super Body’ yang perlu didukung public.
KPK berhasil menghadapkan koruptor dari semua lini dan tingkatan, dari pejabat setingkat lurah, camat,bupati,gubernur, anggota DPRD I dan II hingga anggota DPR, direksi dan gubernur Bank Indonesia, banker, direksi BUMN, konglomerat, tentara dan lainnya banyak lagi yang sudah divonis bersalah dan dihukum oleh pengadilan. Pertanyaannya, apakah dampaknya tidak menimbulkan “gangguan” terhadap pemerintahan? Apa maksudnya isu upaya mengkerdilkan KPK? Ada proses politik apa yang sedang berlangsung? Sehingga Presiden perlu menyampaikan ketegasan sikapnya bahwa beliau akan berdiri didepan apabila ada pihak yang ingin menghapus institusi KPK.
Sebagaimana diketahui umum, hasil dari kinerja KPK adalah perubahan perilaku dan sikap sikap pelaksana berbagai proyek pembangunan dan admiistrasi pemerintahan berubah menjadi sangat berhati hati melaksanakan tugasnya agar tidak terjerat kasus korupsi, terutama pada lini birokrasi. Saya sebut hasil karena bermakna positif. Tetapi pada perspektif lain, sikap sangat berhati hati tersebut berdampak bahwa para pelaksanan proyek pembangunan dan pemerintahan menjadi kurang percaya diri dalam melaksanakan tugasnya. Jadi pada sisi lain terdapat dampak terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan.
Penyerapan APBN menjadi lemah dan daya stimulasinya terhadap ekonomi rakyat tidak sesuai dengan rencana, baik dari sisi besaran dana dan jadwal pembangunan. Ujungnya adalah melambatnya pertumbuhan perekonomian rakyat. Lalu sejumlah besar dana APBN yang dialokasikan sebagai Dana Alokasi Umum ( DAU ) Pemerintah Daerah ditempatkan di Bank Pembangunan Daerah ( BPD) yang kemudian menjadi surat obligasi di Bank Indonesia. Ini suatu cara guna berkelit dari tudingan KPK bahwa ‘telah terjadi kerugian negara’. Pejabat birokrasi pelaksanana berbagai proyek pembangunan berupaya terhindar dari malapetaka hancurnya karir mereka seumur hidup.
Masalah apakah berpengaruh atau tidak terhadap perekonomian rakyat adalah soal nomer dua yang penting ‘cari aman’ nya saja. Apa yang saya kemukakan diatas adalah untuk menegaskan bahwa masalah ‘cicak vs buaya’ ini bukanlah hal criminal yang berdiri sendiri. Masalah ini sangat erat kaitannya dengan stabilitas penjalankan pemerintahan dan kenegaraan. Masalah konflik antar institusi Negara yang sangat membutuhkan kearifan seorang Kepala Negara. ***
Tinggalkan Balasan